Pada dasarnya manusia cinta damai. Manusia memiliki keinginan untuk hidup damai, karena damai membawa kebahagiaan, membawa kenyamanan, membawa ketentraman dan ketenangan. Bukankah ini yang dicari manusia? Tapi kenapa sekian lama manusia hidup di dunia, kedamaian ini sulit didapat?
Hal ini disebabkan karena manusia gagal paham bahwa penyebab ketidakdamaian itu adalah perbedaan, bahwa ada cara untuk bisa damai, bukan sekedar wacana, dan sekedar mengerti, tetapi harus dilaksanakan. Perbedaan menyebabkan perselisihan dan salah paham; beda agama, beda usia, beda kedudukan sosial, beda gender.
Penyebab lainnya adalah karena tidak bisa berdamai dengan diri sendiri. Diri sendiri masih mempunyai ego tinggi, iri hati, tinggi hati, diri sendiri tidak bahagia, merasa tertekan, dan lain sebagainya. Kalau diri sendiri saja belum bisa damai, bagaimana bisa berdamai dengan orang lain?
Untuk bisa hidup berdampingan damai dengan orang lain, kita harus:
1. Menyadari adanya perbedaan
Tiap orang berbeda, unik, istimewa, dan memiliki kekurangan dan kelebihan. Ada nasehat dari Sefu yang mengatakan “Daripada selalu mencari titik-titik yang sama dari orang lain, lebih baik menghormati ketidaksamaan yang dimiliki orang lain”. Dari kata-kata ini terlihat betapa tinggi toleransi yang dimiliki oleh Sefu.
2. Belajar mengendalikan diri
Yang dikendalikan adalah emosi (marah, sedih, takut, jengkel, malu). Semua emosi adalah baik, karena berfungsi untuk memberikan informasi, arah dan motivasi yang membantu kita menciptakan suatu kehidupan yang bahagia. Berfungsi sebagai indikator yang memberitahu kita adanya sesuatu yang tidak beres dan harus diperbaiki. Untuk mengendalikan emosi kita perlu “Kecerdasan Emosional” seperti mengenali emosi diri (misalnya: saya sadar saya lagi sedih), mengelola emosi (menangani perasaan agar terungkap dengan jelas), memotivasi diri (menata emosi sebagai alat mencapai tujuan), mengenali emosi orang lain (keterampilan bergaul)
Orang yang keterampilan emosinya berkembang baik, besar kemungkinan akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan. Sebaliknya, orang yang tidak dapat memegang kendali atas kehidupan emosinya, akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuan untuk fokus terhadap pekerjaan, dan sulit untuk memiliki hati yang jernih.
3. Belajar sabar
Sabar bisa dipelajari, bisa dilatih sehingga menjadi karakter. Latihannya melalui kegiatan sehari-hari. Sabar ini bukan untuk diinjak (warning). Mengalah 1x= toleransi, mengalah 2x= lapang dada. Mengalah 3x= harus mengambil sikap… (ini dalam konteks hidup sosial bukan berkeluarga. Beda lagi kalau berkeluarga tidak perlu berhitung, ha…ha…ha..).
4. Tidak perlu terus-menerus hitung untung rugi
Untung dan rugi kaitannya dengan ming dan li (harta dan kedudukan). Kalau tidak bisa meletakkan ming dan li ini mana bisa damai. Orang Tionghoa memiliki satu kata untuk menjelaskan, Cin cay. Kalau kita cin cay, kita belajar untuk tidak egois, memperhatikan kepentingan orang lain. Dalam ajaran Tao dikatakan:
- “Hanya ada aku, tidak ada kamu”
- “Ada aku, juga ada kamu”
- “Ada kamu, baru ada aku”
Inilah level spiritual yang tinggi. Bisa berbuat tanpa pamrih, menempatkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan orang lain
5. Belajar rendah hati
Cuplikan dari kitab Thay Sang Lao Cin “Membanggakan diri sering mendatangkan rugi. Merendahkan diri tak hilang apapun sejari.”
6. Belajar memaafkan
Memaafkan justru lebih banyak untuk kepentingan diri sendiri.
7. Belajar seni berkomunikasi
Nada bicara, pilihan kata, waktu yang tepat untuk berbicara, bahasa tubuh kita ketika berbicara, ini semua untuk sebuah komunikasi yang nyaman.