Menuju Wu: Jatah, Jodoh, Jangkauan, hingga Bakat Terpendam (Bagian 1)

Dalam proses belajar siutao di Tao TSM, simpul utama yang menentukan keberhasilan dalam belajar adalah sebuah istilah atau konsep yang dikenal sebagai wu. Simpul yang masih terikat ini perlu diurai dan dilepaskan. 

Ada yang mengartikan wu sebagai kesadaran jagat raya. Barangkali dengan kalimat ringkas itu, orang yang menyebut demikian hendak mengatakan bahwa wu adalah suatu tingkat kesadaran seseorang dalam memahami tentang dirinya, memahami tentang kehidupan yang berlangsung di dunia, dan memahami tentang semesta berikut segala hal nonmaterial atau spiritual yang ada di balik realitas material ini.

Wu dalam bahasa atau pengungkapan saya pribadi adalah tibanya kita pada kemampuan berpikir dan kemampuan memahami disertai rasa damai, tenteram, dan ikhlas dalam menyikapi sesuatu hal secara utuh, lengkap, holistik, dan komprehensif.

Dalam tahapan ini kita sudah bisa mengukur, menakar, dan menduga berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi dengan segala manfaat positif dan dampak negatifnya. Selain itu, kita juga sudah menemukan jalan, cara, kiat, dan akal untuk mewujudkan kejadian, peristiwa, dan keadaan yang paling baik manfaatnya bagi semua pihak yang terkait dalam suatu persoalan. 

Bukan cuma tahu cara dan jalannya, tetapi kita pun sudah bisa menjalankan dan mewujudkan solusi itu sejauh situasi dan kondisinya cocok, selaras, dan menunjang. Kemudian tibalah kita pada momen memilih dan menerapkan salah satu pilihan terbaik di antara semua pertimbangan yang telah ditunjang dengan persiapan dan kesiapan yang memadai untuk melaksanakannya dan kelapangan hati untuk ikhlas menerima dengan konsekuen apa pun hasil dari pilihan serta keputusan kita tadi nantinya.

Nah, karena wu itu adalah pola pikir (mindset), wawasan berpikir, kerangka berpikir (framework of thinking), paradigma berpikir, sekaligus penataan sikap dan pemaknaan atas peristiwa nyata kehidupan yang kita hadapi, maka menuju wu tersebut saya telah melewati perjalanan perenungan, pemikiran, dan pengkajian sebelum saya tiba pada tingkat wu saya saat ini.

Jadi untuk menunjang kita sampai pada wu yang memadai, kita perlu melihat dari sebuah perspektif bahwa kehidupan, nasib, dan peristiwa yang sedang terjadi dalam diri setiap orang terkait dengan dan bisa dijelaskan dari empat hal, yaitu jatah, jodoh, jangkauan, dan bakat terpendam.

Jatah

Teman-teman pasti tahu tentang Farel Prayoga yang menyanyikan lagu “Ojo Dibanding-Bandingke” di Istana Negara di hadapan Presiden Jokowi dan tamu-tamu negara. Nah, salah satu hambatan kemajuan dalam siutao adalah kita masih terkungkung dan belum berhasil melampaui batasan dari pola berpikir, pola sikap, dan paradigma suka membanding-bandingkan diri dengan orang lain.

Sikap, hobi, dan kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain ini bisa terjadi dalam dua arah yang bertolak belakang. Arah yang pertama adalah kita membandingkan diri lebih rendah, tidak seberuntung orang lain, atau kurang dibandingkan orang lain. Kita menjadi orang yang kurang percaya diri dan suka mencibir keberhasilan orang lain. Bila hal ini terus-menerus kita pelihara, maka inilah yang membelenggu wu kita yang membuat kita terus saja jalan di tempat dan terus terbelenggu dalam nasib yang tak kunjung merdeka dan mandiri.

Pada arah sebaliknya, kita terbiasa memandang diri sendiri lebih tinggi dibandingkan orang lain. Kalau diterjemahkan dalam bahasa tubuh kita, kepala kita sering mendongak ke atas. “Emang elu siapa?” kurang lebih ucapan batin yang kita gemakan dalam hati saat berhadapan dengan orang lain. Percaya diri sih boleh, tetapi menyombongkan diri itu kurang sehat bagi diri sendiri karena kita rentan untuk terjebak dalam pola pikir kita yang sudah merasa terhebat dan enggan bersikap sebagai murid yang senantiasa bersedia belajar.

Ketika saya menulis artikel ini, saya menulisnya di kedai. Ketika saya memesan segelas susu coklat panas (hot chocolate), sang pramusaji bertanya, mau yang ukuran medium (gelas sedang) atau large (gelas besar).

Karena saya memang mau mencari tempat yang menunjang dan nyaman serta makan waktu sekitar 1-2 jam, maka pilihan saya pun tertuju pada ukuran gelas yang besar agar bisa mencukupi dalam menemani saya menulis artikel yang dinanti-nantikan oleh para pembaca setia Tao TSM, hi…hi…hi.

Itulah jatah untuk setiap orang yang tidak perlu dibanding-bandingkan. Suatu fakta berikutnya, setiap orang mempunyai keunikan khas masing-masing, seperti sidik jari yang tak seorang pun sama. Kita adalah unik, jadi untuk apa dibanding-bandingkan?

Semoga setelah selesai membaca bagian ini, teman-teman yang sedang terbelenggu oleh cara berpikir lama yang masih suka membanding-bandingkan dan belum bisa menerima diri sendiri seutuhnya sesuai keunikan dan keaslian (otentik) diri sendiri, segera lepas dari belenggu pola pikir yang tidak berguna ini.Nikmatilah sebuah kebebasan (freedom) untuk menjalani hidup sesuai dengan jatah kita, sesuai keunikan dan spesialisasi bakat masing-masing. Sudahi pola pikir membanding-bandingkan yang menghambat kemajuan, memakan energi, dan menyita perhatian untuk hal yang tidak penting.

Bersambung….

Baca juga: Menuju Wu: Jatah, Jodoh, Jangkauan, hingga Bakat Terpendam (Bagian 2)