Sebagian dari kita mungkin pernah atau sering mengalami kesulitan dalam menolak permintaan orang lain. Ini mungkin disebabkan karena kebutuhan emosional ingin menyenangkan orang lain dengan mengorbankan kebutuhan dan keinginan diri sendiri. Karakter seperti ini dikenal sebagai people pleaser.
People pleaser selalu berusaha memenuhi segala ekspektasi orang di sekitarnya dan sebisa mungkin menghindari konflik. Mereka bahkan takut untuk berpendapat karena khawatir dengan permusuhan.
Karakter semacam ini mungkin terbentuk karena pola asuh sewaktu kecil yang menekankan pentingnya menjadi anak yang baik dan penurut, ditambah lagi orang tua yang cenderung mengabaikan pergolakan emosi dan keinginan pribadi anak. Citra “anak baik” yang tertanam sejak kecil, lalu menjadi panduan utama dalam membentuk citra “orang baik” di lingkungan dewasanya.
Berusaha menyenangkan orang lain memang baik. Akan tetapi, jika perilaku ini sudah melampaui batas, hal ini akan menjadi bumerang bagi diri sendiri, merugikan diri sendiri, dan secara tidak langsung mudah dimanfaatkan oleh orang lain.
Ajaran Tao menganjurkan kita untuk melewati proses “ada aku baru ada kamu” di mana pada awalnya, saat kita memulai perjalanan xiu Dao, ego untuk mengutamakan kepentingan diri sendiri mungkin masih dominan. Kemudian, tahap “ada aku dan ada kamu” menunjukkan bahwa kita telah mencapai keseimbangan antara memenuhi kepentingan orang lain dan kepentingan pribadi. Akhirnya, saat mencapai tahap “ada kamu, baru ada aku”, kita sudah tidak lagi mendahulukan kepentingan pribadi dan hanya mengutamakan kepentingan orang lain. Lantas, apakah seorang people pleasure benar-benar menjalankan prinsip “ada kamu baru ada aku”?
Perbedaannya adalah seorang people pleaser berusaha untuk selalu menyenangkan orang lain karena takut mengecewakan orang lain, tidak percaya diri, bahkan tidak mempunyai pendirian sehingga takut untuk berargumen.
Perlu kita sadari bahwa kita tidak selalu bisa menyenangkan semua orang. Dengan menggunakan kesadaran (wu) untuk membuat batasan yang tegas dan jelas, kita menjadi berani untuk mengatakan “tidak” pada hal-hal yang tidak pantas kita lakukan. Pengorbanan yang tepat diberikan kepada orang yang benar-benar pantas menerimanya. Kita harus bisa memilah mana yang patut dilakukan untuk kepentingan orang lain dan mana yang seharusnya kita lakukan demi kepentingan diri sendiri. Kita satu-satunya yang memegang kendali penuh atas hidup kita sendiri.
Bagi orang yang sudah terbiasa untuk berkarakter seperti ini, ia perlu belajar untuk berani berargumen secara sehat dan memperjuangkan hak-hak diri sendiri. Jika orang-orang dalam hidup kita benar-benar menyayangi kita, mereka akan menghormati batasan yang kita tetapkan untuk diri kita sendiri. Semoga bermanfaat.