Ada dua orang saudara bernama Adi dan Budi yang diberikan tugas yang sama dari sekolah. Sesampainya di rumah, Adi langsung mengerahkan semua usaha dan pikirannya untuk menyelesaikan tugas tersebut. Ia berusaha menyelesaikan soal-soal rumit itu sendiri dan akhirnya selesai dalam waktu cepat dengan susah payah. Sementara itu, Budi ketika menemukan kesulitan dalam tugas tersebut, ia merasa kesal dan mengeluh kepada ibunya. Dengan spontan sang ibu berusaha menenangkan, menyemangati, dan membantu kesulitan Budi. Melihat Adi sedang bermain karena telah menyelesaikan tugas, tanpa sadar sang ibu berpikir, “Adi hanya bisa bermain dan bermalas-malasan, jangan-jangan tugas sekolah belum dikerjakan.” Keesokan harinya di rumah, Adi dan Budi bertengkar karena berselisih paham. Budi memukul Adi terlebih dahulu. Kemudian Adi menangkis pukulan kedua Budi dengan tangannya. Budi merasa kesakitan dan akhirnya menangis. Adi tidak menangis karena menahan rasa sakit dari pukulan Budi yang pertama. Ketika ibunya datang setelah Budi menangis kencang, dapat kita bayangkan siapa yang akan terlebih dahulu dimarahi oleh sang ibu.
Dalam cerita Adi dan Budi di atas, tentu Budi akan belajar menggunakan cara yang sama untuk kembali mendapatkan respon atau dukungan dari ibunya. Contoh cerita sederhana ini menunjukkan sebuah fenomena bernama “Kekeliruan yang Didukung” yang banyak terjadi, tetapi tidak disadari oleh kebanyakan dari kita. Bila kita bertahan, mengalah, dan tidak mengeluh, maka orang-orang terdekat kita sering kali salah sangka, meremehkan, dan menganggap kita tidak melakukan apa-apa. Namun bila kita mengeluh, orang-orang mulai mendengarkan kita. Ketika kita memamerkan hasil kerja kita, orang-orang mulai memberi apresiasi. Ketika kita marah, orang lain mulai merayu dan menenangkan kita. Hal ironis inilah yang membuat banyak orang sekarang terus melanjutkan perilaku yang keliru karena mendapatkan feedback yang diinginkan.
Beginilah kehidupan kita zaman sekarang. Terkadang terasa tidak adil bagi manusia yang selalu berusaha bekerja dan berupaya dalam diam. Jika kita sudah bersikap dan bekerja dengan benar selama ini, maka lanjutkanlah. Orang lain mungkin tidak menyadari perbuatan kita, tetapi diri kita sendiri mengetahuinya secara jelas. Dalam berbuat sesuatu, tujuan utama kita bukanlah pengakuan dari orang lain, juga bukanlah untuk menunjukkan seberapa besar kita telah berkorban. Sebenarnya diri kita sangat memahami mana yang benar dan mana yang keliru. Maka dari itu, kita harus yakin dan tidak khawatir apabila perbuatan baik kita tidak terlihat oleh orang lain. Kita dapat memutus rantai fenomena ini dengan mulai memberikan apresiasi kepada orang-orang yang kita cintai. Walaupun mereka terlihat diam, bukan berarti mereka tidak melakukan dan tidak merasakan apa-apa. Perbuatan sederhana, seperti memuji, berterima kasih, dan menanyakan pendapat orang lain membutuhkan usaha kita secara sadar. Berusahalah memberikan dukungan kepada orang-orang yang telah melakukan hal-hal baik, tetapi tidak terlihat. Ini baru dinamakan “sikap baik yang didukung”. Semoga semakin banyak manusia di dunia ini yang kembali mengulangi perbuatan baik tanpa perlu mengumbar-umbar.