Di sebuah pulau kecil yang terpencil, terdapat sebuah sekolah sederhana yang menjadi tempat belajar bagi anak-anak setempat. Meskipun sekolah ini tak seberapa besar, semangat belajar anak-anak di sana tak kalah dari sekolah-sekolah di kota. Namun, akses terhadap bahan bacaan sangatlah terbatas. Kebanyakan anak-anak hanya belajar dari beberapa buku lama yang sudah kusam dan usang.
Suatu hari, seorang guru muda datang ke pulau tersebut dengan membawa banyak sekali buku. Kehadirannya disambut dengan penuh antusiasme oleh anak-anak. Mereka berkerumun di sekitar sang guru, berebut untuk mendapatkan buku-buku baru yang penuh warna dan cerita-cerita menarik. Kegembiraan memenuhi udara, tawa ceria anak-anak yang bersemangat untuk membaca menghiasi hari itu.
Di tengah keramaian, sang guru melihat seorang anak laki-laki yang tampak berbeda dari yang lain. Anak itu duduk di pojok ruangan, memegang sebuah buku dengan cara yang aneh—terbalik. Sang guru memperhatikan bahwa anak ini berpura-pura membaca, meskipun jelas bahwa ia tidak bisa. Anak itu mungkin merasa malu karena tidak bisa membaca seperti teman-temannya sehingga ia memilih untuk berpura-pura.
Dengan hati-hati, sang guru mendekati anak tersebut. Namun, ia tidak ingin mempermalukan anak itu di depan teman-temannya. Ia duduk di sebelah anak tersebut tanpa berkata apa-apa. Anak itu yang menyadari keberadaan sang guru mulai merasa gelisah dan hendak menurunkan bukunya karena malu. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, sang guru dengan lembut menahan tangannya dan tersenyum.
Tanpa sepatah kata pun, sang guru dengan perlahan membalikkan buku yang dipegang anak itu ke posisi yang benar. Ia kemudian mulai menceritakan kisah yang ada dalam buku tersebut dengan penuh kehangatan. Anak yang awalnya canggung, perlahan-lahan mulai tersenyum dan menikmati cerita yang disampaikan oleh sang guru. Tidak ada teguran, tidak ada rasa malu, hanya ada kasih sayang dan perhatian dari seorang guru yang mengerti perasaan muridnya.
Beberapa hari berlalu, saatnya sang guru harus kembali ke kota. Anak-anak berkumpul di tepi pantai untuk mengucapkan selamat tinggal. Anak tersebut, meskipun sedih, tampak lebih bersemangat daripada sebelumnya. Sang guru berjanji akan kembali suatu hari nanti, dan anak-anak dengan riang melambaikan tangan saat perahunya perlahan menjauh dari pulau.
Beberapa bulan kemudian, sang guru kembali ke pulau tersebut. Begitu tiba, ia disambut dengan sorak-sorai anak-anak yang merindukannya. Di antara mereka, anak laki-laki itu tampak paling bersemangat. Dengan senyum lebar, ia berlari mendekati sang guru sambil membawa sebuah buku di tangannya.
“Guru, lihat! Aku sudah bisa membaca!” serunya dengan penuh kebanggaan. Sang guru terkejut dan sangat bahagia mendengar kabar itu. Anak tersebut bercerita bahwa sejak sang guru meninggalkan pulau, ia bertekad untuk belajar membaca. Setiap hari ia berlatih dengan buku-buku yang dibawa oleh sang guru. Ia mengakui bahwa jika sang guru tidak dengan lembut dan sabar menolongnya waktu itu, mungkin ia akan selamanya merasa malu dan tidak mau belajar membaca.
Air mata haru mengalir di wajah sang guru. Ia memeluk anak tersebut dengan erat dan merasa sangat bangga dengan kemajuannya. Setelah itu, anak itu duduk di samping sang guru dan mulai membaca cerita dari buku yang dibawanya. Kali ini ia membacanya dengan lantang dan jelas tanpa rasa malu. Sang guru mendengarkan dengan penuh kebahagiaan, merasakan kebanggaan yang tak terhingga atas pencapaian anak itu.
Kisah ini menyoroti betapa pentingnya peran seorang guru dalam kehidupan seseorang. Dengan kasih sayang dan kesabaran, seorang guru tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membangun kepercayaan diri dan semangat muridnya. Seorang guru yang peduli dapat mengubah rasa malu menjadi keberhasilan serta meninggalkan jejak abadi dalam kehidupan anak-anak.