Pada masa Dinasti Song Utara, di sebuah desa hiduplah seorang anak yatim piatu berusia sepuluh tahun yang mengalami cacat kaki sejak lahir. Kedua orang tuanya telah meninggal karena wabah kelaparan yang melanda sehingga ia harus hidup menderita sebatang kara. Untungnya, banyak tetangga yang berbaik hati membantunya dengan memberikan makanan dan sedikit uang untuk menyambung hidup. Sembari mengemis, ia sering melihat sebuah sungai yang mengalir membelah desa tempat ia tinggal. Karena tidak ada jembatan, warga harus menyeberangi sungai tersebut dengan berenang atau menggunakan sampan kecil. Ketika sungai meluap saat musim hujan, sungai itu tidak dapat diseberangi.
Melihat hal itu, muncul keinginan dari dalam hati si anak untuk memberikan sumbangsih bagi warga desa. Setiap pagi warga desa melihat anak itu menumpukkan batu dan menatanya di tepi sungai. Ketika ditanya untuk apa batu-batu itu, ia hanya menjawab bahwa ia ingin membangun sebuah jembatan agar warga desa dapat dengan mudah menyeberangi sungai itu.
Kebanyakan orang menertawakan niat baiknya, menganggap ia hanya berkhayal, dan mengabaikan kerja kerasnya. Namun, hal itu tidak menyurutkan tekadnya untuk membangun sebuah jembatan. Hari demi hari berlalu, bulan berganti tahun, batu-batu yang telah disusun rapi itu mulai menunjukkan pondasi yang kokoh. Warga sekitar pun akhirnya tergerak untuk membantu. Bahkan, beberapa warga yang cukup mampu mengundang tukang batu untuk memulai pembangunan jembatan.
Si anak yatim piatu itu semakin bersemangat. Dengan sepenuh jiwa raga, ia membantu yang lain agar jembatan itu bisa cepat selesai. Namun, takdir berkata lain. Saat ia hendak membelah sebuah batu besar, pecahannya mengenai dan melukai kedua matanya. Ia pun menjadi buta.
Melihat kejadian itu, warga merasa sangat gusar dan menyalahkan langit yang dianggap tidak adil. Anak yang berhati mulia ini malah harus makin menderita karena musibah tersebut. Tidak sedikit warga yang ikut menangisi penderitaan yang dialami anak itu. Akan tetapi, anak itu sama sekali tidak bersedih. Bahkan, ia tidak pernah mengeluh. Setiap hari ia tetap datang ke tepian sungai. Walaupun tertatih-tatih, ia berusaha membantu apa pun yang masih bisa ia kerjakan.
Akhirnya, pembangunan jembatan itu pun selesai berkat gotong royong warga. Semua warga mengadakan pesta syukuran. Walaupun semua mata tertuju pada si anak malang, ia tersenyum gembira. Pada hari yang bahagia itu, tiba-tiba hujan deras turun, geledek dan petir saling bersahutan. Semua orang menutup mata mereka. Seketika petir besar menyambar, disusul dengan suara gemuruh yang mampu memecahkan gendang telinga.
Ketika semua orang membuka mata mereka kembali, sang anak malang tergolek lemah di tanah. Tubuhnya basah karena hujan deras, tidak bergerak, dan terkapar tidak bernyawa. Luka bakar terlihat di sekujur tubuhnya. Kemungkinan besar ia telah tersambar petir. Semua tersentak kaget. Hari yang seharusnya merupakan hari bahagia berubah menjadi tragedi yang menyayat hati. Banyak warga yang mulai menangis dan memaki langit.
Tidak lama kemudian, sebuah tandu pejabat melewati desa itu. Hujan sudah reda sehingga pejabat itu turun dari tandunya hendak melihat apa yang sedang terjadi di desa itu. Kepala desa menceritakan kisah si anak malang kepada pejabat itu dan bertanya-tanya mengapa ada orang baik hati yang begitu malang nasibnya. Apakah hal ini akan membuat orang-orang memilih untuk berbuat jahat daripada berbuat kebajikan?
Sang pejabat adalah seorang hakim ternama yang dikenal jujur bernama Bao Zheng. Hakim Bao yang mendengar kisah tragis itu, tergugah untuk menulis enam aksara yang bermakna “mana boleh berbuat jahat, tidak berbuat baik”. Setelah menulis enam aksara itu, Hakim Bao mengibaskan jubah kebesarannya dan beranjak pergi melanjutkan perjalanan ke ibu kota.
Ketika sampai di ibu kota, dua minggu telah berlalu. Hakim Bao menghadap raja untuk melaporkan hasil perjalanan dinasnya serta semua peristiwa yang telah dilihat dan didengarnya dari masyarakat. Setelah menyelesaikan laporannya, raja mengundang Hakim Bao untuk minum teh bersama. Ternyata beberapa hari yang lalu, sang raja dikaruniai seorang anak lelaki. Namun, karena sepanjang hari terus menangis, sang raja kemudian menanyakan pendapat Hakim Bao.
Hakim Bao pun memutuskan untuk menengok si bayi. Di sebuah kamar, bayi itu sedang digendong oleh seorang kasim. Bayi itu baru saja tertidur diselimuti selimut sutra berwarna keemasan. Namun di tangannya yang mungil dan seputih salju, terlihat samar-samar ada sebaris tulisan. Setelah diamati, tulisan itu adalah enam aksara yang ditulis Hakim Bao, “mana boleh berbuat jahat, tidak berbuat baik.” Karena terkejut, Hakim Bao mengulurkan tangan hendak memegang lengan si bayi, tetapi tulisan itu sekejap hilang tak berbekas. Sang raja pun tidak tahu-menahu tentang adanya tulisan di lengan anak lelakinya. Sepertinya hanya Hakim Bao yang dapat melihatnya.
Sepulangnya dari istana, Hakim Bao tidur di sebuah penginapan di ibu kota. Malamnya ia bermimpi melihat seorang lelaki jahat yang membunuh banyak orang dan menyengsarakan rakyat. Karma buruknya sangat berat. Tak lama, ada seorang kakek tua yang datang menghampiri Hakim Bao sambil membawa sebuah buku. Ia memberitahu Hakim Bao bahwa orang ini begitu keji dan untuk melunasi karma jahatnya, ia perlu membayarnya di tiga masa kehidupan. Kehidupan pertama, ia akan lahir yatim piatu dan cacat, hidup menderita dan miskin. Kehidupan kedua, ia akan lahir dengan mata buta dan hidup sengsara. Kehidupan ketiga, ia akan tersambar petir dan mati di padang rumput liar.
Seketika itu juga Hakim Bao terbangun. Beliau akhirnya menyadari bahwa anak malang yang ditemuinya di desa kecil itu adalah reinkarnasi dari seorang lelaki jahat. Namun karena perbuatan baiknya dan niatnya yang tulus, ia tidak perlu menjalani ketiga kehidupan untuk membayar karma jahatnya. Ia hanya memerlukan satu kehidupan untuk melunasi semuanya. Karena tidak mencela langit atau menyalahkan orang lain dan terus berbuat kebajikan, ia dikaruniai karma baik dan menjadi anak seorang raja di kehidupan berikutnya.
“Tiga masa karma buruk telah dilunasi dalam satu masa kehidupan. Karena hidup dengan tekun melaksanakan kebajikan, satu masa kehidupan cukup untuk melunasi hutang karma tiga masa kehidupan,” tulis Hakim Bao dalam catatan pribadinya. Catatan ini menjadi pengingat bagi dirinya dan orang lain agar selalu berbuat kebajikan tanpa pamrih dan tidak mengeluh atas berbagai penderitaan yang dialami.