Ketenangan Menciptakan Kebijaksanaan

Dalam perjalanan siutaonya, seorang taoyu tidak akan bisa lepas dari proses berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain, baik di lingkungan keluarga, taokuan, tempat kerja, sekolah, maupun masyarakat. Kaum siutao tidak perlu menjauhkan diri dari lingkungan masyarakat atau lingkungan sosialnya. Di dalam lingkungan sosial, sikap dan mental kita akan tumbuh dan berkembang.

Kita berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain dimulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga. Proses pembelajaran yang penting dalam keluarga adalah bagaimana kita dapat menempatkan diri dengan sebaik-baiknya dalam keluarga, menghargai semua anggota keluarga, menghormati yang lebih tua, dan menyayangi yang lebih muda. Komunikasi yang baik dalam keluarga menjadi modal penting agar tercipta suasana yang harmonis dan hangat dalam keluarga.

Komunikasi mensyaratkan adanya kesejajaran dan kemandirian masing-masing pihak. Hal ini berarti setiap orang adalah insan yang mandiri dan mempunyai hak berbicara dan mengungkapkan pendapatnya masing-masing. Tentunya komunikasi yang baik juga membutuhkan saling pengertian, yang mana masing-masing pihak selalu mencoba untuk berpikir, “Jika aku menjadi dia, aku akan merasa….” atau “Jika aku dalam posisinya, aku akan merasakan….” Inilah yang sering disebut sebagai empati, yaitu berpikir dalam posisi orang lain.

Kemampuan berempati atau berpikir dalam posisi orang lain ini mestinya menjadi kemampuan yang terasah dalam proses siutao kita masing-masing. Seyogyanya semakin tinggi level atau derajat siutao kita, kemampuan berempati terhadap orang lain semakin tinggi pula. Dengan kemampuan empati yang tinggi, seseorang dapat mengendalikan dan mengelola hubungan dan komunikasi yang baik dengan sesama, serta membawa keharmonisan dan kerukunan dalam lingkungan sosial.

Namun, dalam praktiknya ini sangat sulit dijalankan. Sering kali yang terjadi adalah kita hanya melihat kebenaran melalui kacamata kita sendiri, tanpa mau mengerti posisi orang lain dan alasan perbuatannya. Akibat yang muncul adalah penghakiman terhadap apa yang dilakukan orang lain. Kurangnya empati ini dapat menimbulkan konflik, perpecahan, dan pertikaian dengan sesama.

Bagaimana cara meningkatkan kemampuan berempati? Kuncinya adalah ketenangan. Jika seseorang dapat menjaga batinnya agar tetap tenang pada saat berkomunikasi dengan orang lain, maka ia tidak akan reaktif atau bereaksi keras terhadap respon yang diberikan lawan bicara, melainkan ia akan mempunyai waktu untuk mencerna dan memahami pembicaraan dengan kepala dingin. Dengan demikian, respon balik yang diberikan pun menjadi tidak berlebihan karena sudah melalui proses penyaringan dalam batinnya.

Dari manakah ketenangan ini didapatkan? Kita bisa mendapatkan ketenangan dari proses berlatih meditasi (jing zuo) secara berkala. Ketenangan menciptakan kebijaksanaan (静能生慧). Inilah mengapa orang-orang suci di belahan dunia mana pun pada umumnya tekun menjalankan proses meditasi. Dengan mencapai ketenangan, akan muncul pengendalian diri yang tinggi dan pola berpikir yang bijaksana. Inilah rahasianya mengapa ada perkataan, “Orang bijak tetap harmonis, meskipun beragam; orang picik terlihat seragam, tetapi tidak harmonis (君子和而不同,小人同而不和).”

Dengan demikian, hasil nyata dari latihan jing zuo kaum siutao adalah membawa keharmonisan dan kedamaian di lingkungan hidupnya masing-masing. Jika ini belum bisa terwujud, seyogyanya proses siutaonya dievaluasi kembali.