Cinta seorang ibu kepada anaknya, cinta seseorang pada suatu hobi, cinta seorang guru besar kepada murid-muridnya, hingga cinta kita kepada pasangan, semua ini dapat dinamakan cinta. Namun, cinta kepada pasangan tentu saja berbeda dengan jenis cinta yang lain. Sering kali kita dapat merasakan cinta, mengatakan aku mencintaimu, dan melakukan hal yang mencerminkan cinta. Sebaliknya, ketika dihadang oleh masalah dengan pasangan, kita malah kehilangan makna cinta itu sendiri. Terkadang kita merasa cinta menjadi egoistis, kita tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan cinta, dan kita mulai ragu apakah cinta sejati benar-benar ada. Oleh karena itu, kita harus mulai merenungkan hal-hal ini dalam diri kita. Apakah kita sudah benar-benar memahami makna cinta? Apakah kita sudah mencintai dan merasa dicintai oleh pasangan kita?
Pahamilah bahwa cinta tidak sepenuhnya buta. Dalam hubungan suami istri, cinta akan terbentuk setelah adanya ketertarikan. Bila kita pernah mendengar istilah cinta pada pandangan pertama, maka itu bukanlah cinta, tetapi hanya ketertarikan biologis semata. Namun, hal ini adalah awal yang baik dari sebuah komitmen cinta. Sebelum dapat mencintai seseorang, tentu kita harus terlebih dahulu merasa tertarik pada paras, penampilan, dan perilaku orang tersebut. Setelah ketertarikan yang kuat itulah, seseorang memutuskan untuk mengenal lebih dekat calon pasangannya. Maka dari itu, ketika kehangatan rumah tangga mulai memudar, ingat-ingatlah saat-saat pertama yang membuat kita sangat tertarik dengan pasangan. Kunjungilah tempat-tempat kencan berdua dan kembalilah mengingat daya tarik pasangan kita.
Cinta sejati itu dinamis, tetapi tidak berubah. Saat pasangan suami istri telah menua, saat pasangan tidak lagi menarik, hingga saat kita telah mengetahui watak asli pasangan, apa yang membuat sebuah hubungan tetap bertahan? Inilah yang dinamakan cinta. Perasaan cinta tidaklah selalu positif. Cinta juga mencakup perasaan negatif dan keburukan yang ada di dalam diri pasangan kita. Cinta yang sesungguhnya mencakup komitmen, ketulusan, keterbukaan, keintiman, perhatian, toleransi, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, bila kita telah memutuskan untuk mencintai seseorang, cinta itu tidak akan berubah walau apapun yang terjadi. Kita akan selalu berusaha untuk membahagiakan orang tersebut dan tetap menjadi diri sendiri.
Cinta itu egoistis. Coba kita renungkan hal ini. Apa yang kita rasakan bila pasangan kita jauh di bawah dari ekspektasi yang kita harapkan? Apa yang kita rasakan bila mencintai seseorang yang tidak cinta kepada kita? Rasa itu tentu tidak menyenangkan. Maka dari itu, cinta memang dapat dikatakan bersifat sedikit egoistis. Hubungan suami istri haruslah bersifat timbal balik. Untuk bisa terus mencintai seseorang dan tetap waras, kita juga butuh dicintai. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk sosial. Setiap manusia membutuhkan seseorang yang mau mendengar dan tetap ada untuk dirinya. Namun, cinta bukan berarti selalu ingin memenangkan ego pribadi. Dalam cinta ada toleransi dan mengalah. Agar selalu harmonis, kedua pasangan harus selalu mengisi dan menyeimbangkan ego masing-masing. Jadi kesimpulannya, cinta adalah perjuangan, pengorbanan, dan pembelajaran seumur hidup. Dengan mencintai seseorang, kita berjuang untuk menjadi diri sendiri yang lebih baik untuknya dan bersama-sama untuk mencapai kebahagiaan dalam berumah tangga. Dengan mencintai seseorang, kita mengorbankan sedikit ego pribadi untuk memenuhi ego bersama. Kita mengorbankan kebiasaan-kebiasaan buruk yang dapat merusak keharmonisan rumah tangga. Dengan mencintai seseorang, kita mempelajari budaya baru, cara berkomunikasi yang baru, dan karakter seseorang yang bisa jadi sangat bertolak belakang dengan kita. Teruslah berjuang dalam memupuk dan membangun cinta dengan orang-orang yang sangat penting dalam hidup kita!