Setiap manusia selalu mempunyai masa lalu setelah sekian lama berjalan dalam ruang waktu kehidupan ini. Pengalaman-pengalaman yang dilalui tak lepas dari dualitas: susah dan senang, sedih dan bahagia, suka dan duka, sukses dan gagal, kalah dan menang, serta suka dan tidak suka. Sering kali perjalanan hidup saat ini terganggu oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan dan menimbulkan trauma mendalam. Mereka yang pernah gagal, takut untuk melangkah karena takut mendapat kegagalan serupa. Misalnya, mereka yang gagal dalam membangun hubungan, seperti pernah ditinggalkan oleh pasangannya, menjadi takut untuk kembali menjalin hubungan yang lebih dekat dengan orang-orang baru.
Bagaimana kita menangani residu atau sisa-sisa perasaan yang tidak mengenakkan itu untuk dapat kembali menjadi orang yang bebas bergerak, bebas berkarya, dan membangun masa depan yang lebih baik?
Kita sebagai taoyu seharusnya sudah sangat paham bahwa hitam dan putih akan selalu ada, tidak ada putih jika tidak ada hitam. Kita boleh menganggap hitam sebagai krisis atau kondisi tidak mengenakkan yang kita alami, sedangkan putih sebagai kondisi menyenangkan dan kesempatan kita untuk bertumbuh. Tidak satu pun manusia yang tidak pernah mengalami kondisi krisis. Untuk itu, kita sadari bahwa krisis justru sebaiknya kita gunakan untuk memperbaiki diri dan meningkatkan diri menjadi lebih baik lagi. Ini adalah proses siutao.
Proses kedua adalah kita sepenuhnya sadar bahwa kita hidup pada saat ini. Masa lalu sudah kita lewati dan masa depan belum terjadi. Jika kita hidup benar-benar pada saat ini, kita tidak mempunyai masalah. Masa kini tidak ada masalah, yang ada adalah hidup itu sendiri. Kita yang memilih, apakah hidup masa kini membawa luka masa lalu dan khawatir akan masa depan, atau sepenuhnya kita bisa hidup saat ini.
Proses ketiga adalah melepaskan perasaan-perasaan yang mengganggu itu. Berani mengangkat kembali peristiwa yang sudah dilewati itu, mengakui perasaan-perasaan yang muncul, menerimanya, lalu melepaskannya. Kita hanya perlu menyadari, mengakui, dan menerima bahwa kita memiliki perasaan-perasaan yang tidak mengenakkan itu. Setelah menyadari, mengakui, dan menerimanya, kita lepaskan itu semua. Biarkan hal itu memudar dengan sendirinya. Kita memaknai ulang bahwa hal itu adalah pelajaran bagi kita untuk naik kelas. Pasti ada makna tersembunyi dari peristiwa yang kita alami, itu pasti. Hanya karena kita keburu digerakkan oleh ego dan emosi, kita menjadi tidak sadar dan bereaksi negatif. Ketika perasaan-perasaan yang mengganggu itu diterima bukan ditekan, dia akan memudar. Bagaimana agar kita mengetahui bahwa perasaan-perasaan itu telah memudar? jika peristiwa itu teringat kembali, perasaan-perasaan seperti kebencian, dendam, rasa takut, amarah, dan kesedihan itu tidak kembali muncul. Kita hanya mengingat dalam memori kita bahwa peristiwa itu pernah terjadi. Karena kita sudah memaknai ulang peristiwa itu serta telah melepaskan semua perasaan dan emosi yang menyertainya, kita menjadi damai, bahkan tidak sedikit yang tersadar, betapa bodohnya saya dahulu. Hal yang repot adalah ketika kita masih tetap saja menjadi bodoh sampai saat ini. Akhirnya perjalanan siutao (xiu Dao) seumur hidup pun masih membawa luka batin ke mana-mana.
Satu perasaan atau emosi terkandung beribu-ribu pikiran. Misalnya, ketika kita mendengar kata ‘jijik’, akan timbul banyak pikiran, seperti jijik kalau melihat kecoa, tikus, dan ulat; jijik kalau melihat orang yang curang. Ketika rasa jijik kita lepaskan, hasilnya kita tidak lagi takut dengan kecoa, ulat, atau tikus. Demikian pula jika kita menemukan emosi atau perasaan lain, solusinya tetap sama.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Xie Shen en.