Sebelum membahas lebih jauh, kita mengerti dulu apa sebenarnya “ego” itu. Istilah ego dikemukakan oleh Sigmund Freud, seorang ahli saraf dan penyakit jiwa dari Austria. Menurut teorinya, wilayah pikiran terdiri dari 3 bagian berikut.
- “Id”, yaitu wilayah kebutuhan dasar manusia; berhubungan dengan proses fisik; untuk bertahan hidup dan berkembang biak; menganut prinsip kesenangan; beroperasi di wilayah tidak sadar (unconscious); tidak dapat membedakan benar dan salah; serta mempunyai dorongan, impuls, dan instingtif.
- “Ego”, beroperasi mengikuti prinsip realita/kenyataan; berusaha memenuhi keinginan “id” dengan cara yang dapat diterima sosial; dan eksekutif pelaksana.
- “Superego”, beroperasi mengikuti prinsip ideal; sesuai norma, etika, dan moralitas; serta mengejar kesempurnaan.
Ketiga hal di atas adalah bagian dari diri kita. Jadi sebenarnya “ego” tidak salah, tetapi menjadi salah ketika seseorang menjadi egois sehingga memenuhi keinginan “id”/kepuasan/kesenangan dirinya tanpa memedulikan lingkungan sosialnya. Jadi selama ini kita sudah salah kaprah dengan istilah “ego”. “Ego” adalah bagian dari pikiran sadar kita. Kita makan, minum, belajar, tidur, dan siu Tao memang untuk “ego” kita. Tidak salah kan? Istilah Wu Ji Wu Ren, yang artinya menyadarkan diri kita terlebih dulu, baru menyadarkan orang lain. Kita mengutamakan diri kita dulu. Itu merupakan “ego” jika kita mengacu pada teori Freud. “Id” yang berkembang liar dan tidak dapat dikendalikan oleh “ego” yang menyebabkan terjadinya konflik sosial.
Sikap egoistis yang menyabotase? Menyabotase apa? Menyabotase pertumbuhan jiwa. Peradaban sudah berubah, dari zaman batu ke zaman teknologi sekarang. Apakah manusia sudah berevolusi secara jiwa? Ternyata sebagian belum. Manusia masih berkutat pada pemenuhan “id”-nya. Konflik masih terjadi di mana-mana. Manusia masih belum bisa membedakan mana yang benar-benar benar dan mana yang benar-benar salah. Sebagian sudah berproses tumbuh dengan pikirannya yang dahsyat sehingga tercipta teknologi-teknologi maju. Teknologi maju ini selayaknya diimbangi dengan bertumbuhnya manusia-manusia dengan “superego”.
Salah satu tujuan kita siu Tao adalah supaya kita sebagai manusia masuk ke ranah “superego”, menjadi manusia-manusia yang sempurna, yang super, yang cerdas, maju secara teknologi dibarengi dengan moral yang tinggi. Menggunakan kecerdasannya untuk kemajuan teknologi, untuk menolong lebih banyak manusia dan membuat bumi sebagai tempat tinggal yang nyaman untuk semua. Menyelamatkan manusia, menyelamatkan dunia. Mereka yang “superego”-nya sudah berkembang masih sedikit.
Sikap-sikap egois adalah proses “ego” yang malah mencari cara untuk melegalkan, untuk mengesahkan pemenuhan kepuasan diri/kelompoknya. Jika “ego” tersandera oleh “id”-nya, bagaimana ia bisa mencapai “superego”? Bagaimana bisa siu Tao menuju kesempurnaan jika “ego”-nya malah menyabotase perkembangan dirinya?