Mendaki ke Puncak Gunung

Pada suatu pagi yang indah, seorang anak lelaki sedang berjalan tergopoh-gopoh menuju kaki gunung di belakang rumahnya sambil berteriak, “Ayah, ayo cepat! Kita harus sudah sampai ke puncak gunung sebelum tengah hari!” 

Sang ayah dengan susah payah mengimbangi lari si anak dan menjawab, “Tenang saja, Anakku. Kita pasti sampai di puncak gunung sebelum makan siang.”

Mereka berdua memulai pendakian gunung dengan hati riang gembira. Jalan setapak yang sudah terbangun dengan rapi sangat memudahkan para pendaki. Di sisi kiri dan kanan jalan berdiri pepohonan rindang yang memayungi para pendaki dari terik matahari. Kicauan burung terdengar dan sayup-sayup terdengar pula suara binatang penghuni hutan. Kawanan monyet melompat dari satu dahan ke dahan yang lain, beberapa ekor rusa kadang terlihat menengok ke arah jalan setapak untuk melihat para pendaki, serta beberapa tupai sibuk menyeberang jalan ke sana kemari. Sang Ayah berjalan dengan santai sembari melihat ke kanan dan ke kiri. Sementara itu, si anak mendaki dengan tergesa-gesa tanpa menunggu ayahnya. 

“Lihat itu, di sebelah sana!” seru sang ayah dengan setengah berteriak.

Seekor rusa terlihat sedang berjalan perlahan dengan anggunnya. Tanduknya yang panjang dan meliuk-liuk membuatnya terlihat sangat gagah. Sang ayah buru-buru merogoh ranselnya untuk mengambil kamera, lalu berusaha memotret si rusa di antara pepohonan. 

Namun, si anak berteriak, “Ayolah Ayah, cepat sedikit! Aku ingin cepat sampai di puncak.” 

Mendengar teriakan si anak, rusa itu pun berlari masuk ke dalam hutan. Sang ayah akhirnya tidak berhasil mengabadikan momen indah tersebut. Dengan kecewa, sang ayah mengembalikan kameranya ke dalam ransel dan menjawab dengan senyum kecut, “Baiklah, ayo kita jalan!”

Satu jam berlalu, pasangan ayah dan anak akhirnya sampai di tempat peristirahatan, tempat di mana para pendaki dapat duduk santai sambil menikmati pemandangan dan membuka bekal makanan mereka. Di sana pun terdapat kios makanan kecil dan toilet umum yang bersih. Sang ayah mengajak anaknya untuk beristirahat sejenak. Awalnya, si anak memaksa untuk melanjutkan pendakian, tetapi akhirnya ia mau untuk turut beristirahat bersama ayahnya, walaupun dengan perasaan gusar. 

Mereka membuka bekal makanan mereka yang berisi sandwich ham dan keju serta dua butir telur matang. Sambil memakan bekal mereka, sang ayah mengagumi pemandangan perkotaan yang terhampar sejauh mata memandang. Sementara itu, si anak dengan buru-buru memakan bekalnya. 

“Pelan-pelan sedikit kalau makan, nanti tersedak,” nasihat sang ayah. 

Benar saja, tak lama si anak tersedak makanan dan buru-buru menggapai botol minum di dalam tasnya. Sang ayah hanya bisa tersenyum simpul. 

Setelah beristirahat, mereka berdua melanjutkan pendakian mereka. Jalan setapak yang menanjak kini berubah menjadi tangga berbatu yang meliuk-liuk mengitari tepian gunung. Pohon-pohon pinus terlihat berkelompok menjulang tinggi menghiasi rute pendakian mereka. 

Sang ayah berhenti sejenak dan menarik napas panjang sembari berkata, “Bau semerbak pohon pinus ini tidak akan bisa kita nikmati di perkotaan.” 

Si anak tetap berjalan dengan tergesa-gesa dan menjawab sekenanya, “Iya Ayah, aku tahu. Ayo cepat, kita sudah mau sampai di puncak!”

Tak lama, mereka pun sampai di puncak gunung. Matahari sepenuhnya tertutupi oleh awan tebal dan pepohonan sudah tidak terlihat. Pemandangan kota dapat terlihat jelas. Di kejauhan terlihat pula lautan beserta kapal-kapal yang berseliweran. Si anak meletakkan ranselnya, lalu berusaha menikmati pemandangan di puncak gunung. Namun, terlihat jelas raut kekecewaan di wajah si anak. 

“Ayah, aku selalu berpikir jika kita sampai di puncak gunung, aku akan merasa sangat bahagia, puas, dan bangga, tetapi mengapa aku tidak merasakan apa pun?” tanya si anak kepada ayahnya.

Dengan tersenyum, sang ayah meminta anaknya untuk duduk. Kemudian sang ayah bercerita, “Terkadang di dalam kehidupan kita selalu fokus pada tujuan dan cita-cita kit, sehingga kita tidak sadar apa saja yang sudah kita lewatkan dan apa saja yang sudah kita korbankan. Tenaga, waktu, uang, bahkan kesehatan kita sendiri dan keluarga pun kita korbankan. Akibatnya, sering kali sesampai kita di puncak, di tujuan dan cita-cita kita itu, kita tidak dapat menikmati apa pun. Semua terasa hampa dan kosong. Oleh sebab itu, alangkah baiknya bila kita menikmati proses perjalanan hidup kita ini. Nikmatilah hal-hal kecil yang ada di sekitar kita, tentu dengan tetap berjalan menuju tujuan yang telah kita tentukan. Namun, selalu ingat untuk menikmati prosesnya. Itulah kunci kebahagiaan di dalam kehidupan.”

Si anak mendengarkan dengan saksama nasihat sang ayah lalu mengangguk tanda setuju. Kemudian ia menunjuk ke arah sebuah gunung yang menjulang tinggi di kejauhan. 

“Ayah, kira-kira kita bisa tidak mencapai puncak gunung itu sebelum malam tiba?” tanya si anak.

“Tentu saja bisa. Tapi kita harus menuruni gunung ini terlebih dahulu,” jawab sang ayah. 

Membayangkan perjalanan jauh untuk menuruni gunung dan mendaki gunung yang lain, si anak akhirnya membatalkan niatnya untuk mencapai puncak gunung yang lain itu. Sang ayah kemudian menasihati anaknya, “Dalam hidup kita juga seperti ini. Kadang kala orang lupa, saat sudah mencapai apa yang dicita-citakan, mereka langsung berambisi untuk mencapai puncak berikutnya, cita-cita berikutnya. Mereka tidak sadar bahwa mereka harus menuruni gunung terlebih dahulu. Untuk mencapai tujuan baru yang lebih tinggi, tidak jarang kita harus mundur dan memulai kembali semuanya dari awal. Jika tidak menyadari hal ini, banyak orang akan kecewa dan putus asa saat mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus mengalami kemunduran. Padahal hal itu alamiah, sudah lumrah seperti itu. Hanya cukup dijalani dengan sabar, niscaya puncak yang lebih tinggi itu pun akan terlampaui.”

Mendengar nasihat sang ayah, si anak mengangkat ranselnya lalu memulai perjalanannya dengan lebih semangat. Sang ayah pun dengan sigap mengikuti langkah si anak menuruni lereng gunung. Dalam perjalanan menuruni gunung, mereka tidak lupa menikmati pemandangan yang ada. Hal-hal kecil yang dilewatkan si anak saat ia mulai mendaki akhirnya dapat ia lihat dan temukan. Raut wajah kegembiraan sangat terlihat jelas di wajah si anak dan ayahnya.  Walaupun letih dan lelah melanda, mereka berjalan dengan riang gembira.