Sembahyang kepada Leluhur dan Saat Melayat

Umat Tao sangat menghargai leluhurnya sehingga senantiasa menjaga kata-kata dan kelakuannya agar tidak mencemarkan nama baik leluhur. Di samping itu, umat Tao juga senantiasa mengenang leluhurnya melalui kegiatan sembahyang yang rutin dilakukan setiap tahun, di antaranya pada saat tutup tahun (tanggal 30 bulan 12 Imlek atau  nian san shi) dan saat festival Qing Ming (tanggal 4/5 bulan April).

Selama ini masyarakat pada umumnya melaksanakan sembahyang sesuai dengan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun tanpa ada penjelasan/pengertian yang disampaikan. Akibatnya, banyak generasi muda yang merasa bingung, bahkan enggan melanjutkannya.

Bagi umat Tao, tata cara sembahyang kepada leluhur sangat sederhana. Umat Tao memandang bahwa sembahyang kepada leluhur pada hakikatnya adalah menghormati dan mengenang beliau. Oleh karena itu, menghormati leluhur selayaknya menghormati Shen Xian (Dewa-dewi Tao).

Dalam memberi persembahan cukup menggunakan buah-buahan segar lima (5) macam. Masing-masing lima buah atau sesuaikan dengan ukuran dan jenis buahnya. Misalnya, jika mempersembahkan kelengkeng, jangan lima (5) butir karena secara estetika kurang bagus. Kemudian disertai dengan lima (5) cawan teh dan sepasang lilin merah. Ketika bersembahyang kepada leluhur, cukup berdiri tegak menggunakan sebatang hio, digenggam dengan kedua tangan, angkat hio di depan dahi, dan pai tiga (3) kali.

Pada saat sembahyang di rumah, foto leluhur diletakkan di atas meja. Usahakan ada ganjalan atau dudukannya sehingga tidak terlalu rendah dan tidak tertutup oleh tempat hio (hiolo). Setelah sembahyang selesai, foto leluhur bisa disimpan dengan baik di laci atau lemari dan dikeluarkan kembali pada saat sembahyang berikutnya. Ada alasan khusus yang logis mengapa umat Tao hanya mengeluarkan foto leluhur ketika akan bersembahyang. Pada hakikatnya setiap manusia memiliki kenangan dan pengalaman dengan leluhurnya masing-masing. Ketika kita ditinggalkan oleh beliau, pasti ada rasa sedih dan kehilangan. Untuk mengurangi rasa sedih dan kehilangan ini, maka foto leluhur hanya dikeluarkan pada saat akan bersembahyang.

Dalam kehidupan bermasyarakat tentu ada waktu-waktu tertentu ketika sahabat dan kenalan mengalami kedukaan. Pada saat ini umat Tao akan melayat (mai song/ diao sang 吊丧) untuk memberikan hiburan, dukungan moral, dan kehangatan bagi keluarga yang ditinggalkan.

Ketika melayat, umat Tao cukup berdiri tegak, memegang sebatang hio di depan dada, dan tidak perlu pai. Selanjutnya, sungkem sejenak dengan satu tangan di depan dada. Jika tidak menggunakan hio, cukup sungkem sejenak dengan satu tangan di depan dada.  Terakhir memberi hormat (menganggukkan kepala) kepada keluarga yang ditinggalkan.

Ketika bersembahyang kepada leluhur dan dalam upacara kematian, umat Tao tidak membakar ling wu (rumah-rumahan kertas), uang kertas, atau aksesoris sejenis lainnya karena bakti kepada leluhur seharusnya dilaksanakan ketika beliau masih bersama kita. Jika membakar uang kertas hanya untuk meramaikan suasana, membangkitkan semangat, mengurangi rasa duka, atau sekadar melanjutkan tradisi, lakukan secukupnya saja.

Kutipan Kitab Suci Mahadewa Thay Shang Lao Jun

”Anak cucu membuat kebaktian dan berjasa
Nenek moyang selalu bergembira
Foya-foya membakar ling wu (rumah-rumahan kertas) apa gunanya
Karena bodoh dan tidak ada pengertian belaka”

“Sebatang hio lambang selamat jaya
Hadap Dewa sujudlah di atas kepala
Hadap lainnya di depan jidat dan di depan dada
Dua tangan sungkem di depan atau satu saja terang cara-caranya”