Tanpa kita sadari, banyak sekali pemahaman kita yang ternyata terpatok mati di satu titik. Karena kita tidak merasa ada yang salah dengan pemahaman tersebut, maka tidak ada inisiatif dari diri kita untuk mencari pemahaman baru terhadap hal yang sama. Bisa jadi kita menganggap hal itu tidak sepantasnya dibahas atau dipelajari karena merupakan hal-hal sederhana yang semua orang mengetahuinya.
Namun, sebenarnya pemahaman yang selama ini kita tahu bisa saja salah, bisa saja pemahaman itu terlalu sempit, atau bisa saja ada sisi lain yang ternyata berbeda dengan pemahaman tersebut. Maka dari itu, dalam xiu Dao kita diajarkan untuk tidak mati di satu titik. Orang xiu Dao harus bisa berpandangan luas dan dinamis sehingga bisa bijaksana dalam berbagai situasi dan kondisi, apalagi perkembangan zaman dan teknologi saat ini sangat memengaruhi perkembangan kebudayaan dan pola pikir.
Contohnya saja di Indonesia, kita terpatok bahwa makan itu harus dengan nasi. Walaupun di sekolah kita sudah memahami bahwa makan itu harus seimbang, yaitu 4 sehat 5 sempurna di mana kandungan nasi adalah karbohidrat dan masih banyak sumber karbohidrat lain, seperti kentang, roti, mi, ubi, dan sebagainya, tetapi karena kebiasaan yang sudah mendarah daging dan kondisi lingkungan yang seragam, maka kita tetap merasa kalau makan harus dengan nasi. Padahal, di Eropa orang-orang tidak makan nasi, melainkan kentang ataupun roti sebagai sumber karbohidrat.
Contoh di atas merupakan suatu contoh sederhana, yang sebenarnya banyak sekali titik-titik beku kita terhadap pemahaman suatu hal yang seolah terpatok di sana sedari dulu dan tidak lagi kita update. Dalam xu Dao, titik-titik beku ini perlu dicairkan dan mendapatkan pembaruan sehingga wawasan kita dapat terbuka. Jangan menilai sesuatu hanya dengan memandang satu sisi permukaan dan mengabaikan sisi lainnya, hanya karena kebanyakan orang juga melihatnya seperti itu.
Misalkan saja pemahaman kita tentang baik. Semua orang bisa dengan mudahnya mengatakan ini baik, itu tidak baik, orang ini baik, dan orang itu tidak baik. Namun, benarkah demikian? Baik itu sebenarnya subjektif sekali. Jadi, standar penilaian setiap orang bisa berbeda-beda. Terkadang kita terlalu berusaha mendapatkan pengakuan orang lain sehingga tidak henti-hentinya menggunakan standar penilaian orang agar bisa menjadi baik. Akhirnya kita menjadi lelah karena tidak dapat memuaskan semua orang, menjadi serba salah, bahkan merugikan atau mengorbankan diri sendiri terlalu banyak. Jika dipikirkan kembali, benarkah untuk menjadi baik kita perlu sedemikian rupa? Tentu saja tidak.
Menjadi baik tidak berarti kita harus memuaskan keinginan setiap orang. Menjadi baik juga bukan berarti harus mengorbankan banyak hal yang kita miliki hanya demi memenuhi keinginan orang lain. Bisa jadi kita menanamkan pengertian yang salah dalam diri kita. Asalkan kita tidak melanggar hukum dan norma, sudah menjalankan kewajiban kita, dan menghormati hak orang lain, itu sudah baik.Adakah yang menemukan titik-titik yang sudah membeku terlalu lama dan membuat pikiran kita terpatok mati di sana? Jika ada, diskusikanlah dengan shi xiong dan shi jie agar pikiran kita dapat lebih terbuka.