Bagi masyarakat keturunan Tionghoa tentu sudah tidak asing dengan klenteng dan Dewa-Dewi yang disembah.
Namun sering kali masyarakat keturunan Tionghoa ini hanya sekedar “tahu” tetapi tidak “kenal” dengan agama nenek moyangnya ini. Hal ini terjadi karena minimnya edukasi yang didapatkan mereka tentang hal ini.
Walaupun tradisi tetap dijalankan, namun ada berbagai pertanyaan berkecambuk tanpa ada orang yang mampu menjawab :
- Apakah di klenteng itu ada Tuhan ?
- Begitu banyak Dewa-Dewi yang dipuja, siapa sebenarnya Dewa-Dewi tersebut? Apakah Mereka benar-benar ada?
- Apa hubungan antara Dewa-Dewi ini dengan Tuhan? Mengapa Mereka disembah?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang begitu sederhana, namun sayang sekali tidak dapat dijelaskan dengan baik.
Sehingga sembahyang di klenteng hanya sekedar membakar dupa dan menancapkannya – kehilangan makna dan ketulusan dalam bersembahyang.
Umat klenteng jarang sekali atau bahkan tidak pernah mengupas soal Ketuhanan. Di setiap altar patung Dewa-Dewi terkadang diberi papan petunjuk nama Dewa-Dewi tersebut, namun tidak pernah ditemukan tulisan “Tuhan” di sana.
Lantas apakah umat klenteng mengenal Tuhan?
Ketika umat klenteng pergi sembahyang, mereka akan memulainya dengan menuju ke bagian paling depan klenteng, menghadap ke langit dan bersembahyang kepada Yi Huang Da Di atau Tian Gong. Setelah itu baru dilanjutkan bersembahkan ke Dewa-Dewi yang ada di dalam klenteng.
Dewa apapun yang disembah, di klenteng di mana pun, umat klenteng pasti melakukan proses ini. Mengapa?
Karena Yi Huang Da Di atau Tian Gong adalah sebutan yang digunakan oleh umat klenteng terhadap Tuhan. Bila Tuhan yang sedang kita bahas di sini adalah Tuhan YME, Yang Tertinggi, “Sang Maha Segala-galanya”, maka umat klenteng adalah umat yang berke-Tuhanan.
Kemudian bagaimana dengan Dewa-Dewi. Siapa sebenarnya Mereka? Apa hubungan Dewa-Dewi tersebut dengan Yi Huang Da Di/Tuhan?
Hubungan Tuhan dan Dewa-Dewi dapat diumpamakan seperti suatu sistem pemerintahan atau negara. Dimana Tuhan sebagai pucuk pimpinan tertinggi yang memiliki banyak “menteri” dan “jendral” yang membantu-Nya. Oleh karena itu, umat klenteng juga bersembahyang dan memberi hormat kepada Dewa-Dewi.
Apakah Dewa-Dewi itu ada?
Mengenai ada tidaknya Dewa Dewi seperti menjelaskan listrik kepada masyarakat zaman dahulu yang belum mengenal teknologi listrik. Contoh bola lampu.
Listrik sifatnya tidak kasat mata dan tidak berbau . Pada saat itu belum ada cara untuk membuktikannya.
Ketika mereka melihat petir, mereka hanya melihat cahaya, mereka tidak tahu ada energi besar bernama listrik dalam kilatan cahaya petir yang mereka lihat.
Beberapa cukup beruntung pernah merasakan “tersetrum” dari listrik statis yang tanpa sengaja tercipta saat mereka menyentuh orang lain ataupun saat mereka menggunakan pakaian dengan materi tertentu.
Seperti halnya Dewa-Dewi dalam kehidupan manusia. Seperti petir yang hanya terlihat cahayanya, terkadang kita hanya melihat hasil karya Mereka melalui lingkungan dan orang-orang sekitar kita, namun kita tidak tahu pasti bahwa hal tersebut adalah hasil karya mereka.
Beberapa orang cukup beruntung karena merasakan sendiri ke-Agungan para Dewa-Dewi melalui mukzizat-mukzizat yang diperoleh.
Walau begitu, bagaimana kita harus menyikapinya? Percaya buta pada cerita orang-orang mengenai Dewa-Dewi justru membuat kita takhayul. Hal ini juga berpotensi menjerumuskan kita pada pembodohan oleh oknum-oknum tertentu.
Sebagai umat klenteng, kita harus menggunakan menggunakan kecerdasan dan nurani, mencari jawaban keberadaan Dewa-Dewi dengan jujur dan tulus.
Semoga kita memiliki kejodohan untuk membuktikan keberadaan Dewa-Dewi, dan juga mendekatkan diri pada-Nya hingga dapat dibimbing dan dituntun menuju hidup yang lebih baik.
Salam Hangat Tao.