Beberapa dari kita mungkin taat serta rutin berdoa atau bersembahyang. Tidak pernah ada hari yang terlewatkan tanpa berdoa, bahkan dalam satu hari bisa beberapa kali memanjatkan doa maupun bersembahyang.
Namun di sisi yang lain ada juga yang sudah tidak ingat, entah kapan terakhir kali memanjatkan doa, mungkin hanya pada saat-saat tertentu, beberapa kali dalam setahun.
Dibalik pro kontra frekuensi kita berdoa, manusia sering kali melihat kegiatan berdoa sebagai bagian dari rutinitas dan aktivitas hidup. Namun, pernahkan kita menanyakan pada diri kita sendiri, apa esensi berdoa/sembahyang bagi kita.
“Mengapa saya harus/mau bersembahyang?”
“Apakah ini hanya semacam bagian dari kebudayaan atau kewajiban yang harus dijalankan tanpa boleh dipertanyakan ?”
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita telusuri kembali kegiatan yang telah dilakukan sejak ribuan tahun ini. Peninggalan-peninggalan kuno seperti lukisan gua, artefak, dll mununjukkan bahwa bahkan jauh sebelum manusia mengenal aksara, ribuan tahun lampau, di zaman pra-sejarah, manusia telah melakukan kegiatan berdoa/bersembahyang.
Bayangkan seorang manusia purba suatu ketika dihadapkan dengan situasi dimana dirinya bertemu dengan harimau kelaparan di hutan. Manusia purba tersebut terpojok hingga tidak dapat melarikan diri lagi. Di saat-saat terakhir hidupnya, dalam ketidakberdayaan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, sang manusia purba memohon (entah pada apa), memohon agar nyawanya dapat selamat. Sesuatu yang seperti tidak mungkin itu tiba-tiba terjadi. Harimau berjalan menjauh dan tampak seperti tidak lagi tertarik dengan mangsanya tersebut. Sang Manusia Purba pun akhirnya selamat.
Ketidakmungkinan ini yang kemudian dipercaya sebagai mukzizat.
Cerita tersebut mungkin hanya illustrasi asal muasal berdoa. Tidak dapat disangkal bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan. Sampai pada satu titik dimana manusia merasa bingung dan putus asa, di saat itulah terkadang manusia disadarkan bahwa ada “suatu kekuatan” di luar dirinya yang dapat membimbing dan membantunya.
Mulai saat itu, manusia akan mencoba lagi untuk menemukan cara “berkomunikasi” dengan “Sesuatu” ini. Tujuannya adalah agar disaat-saat kritis, mereka dapat memohon bantuan-Nya.
Mulai dengan cara berdoa secara sederhana hingga lahirlah berbagai upacara, ritual dan revolusi sistem kepercayaan (animisme, dinamisme, totemisme, dst). Semua demi agar dapat “lebih dekat” dengan “Sang Maha”.
Saat ini ilmu pengetahuan telah berkembang dengan begitu pesatnya. Jawaban-jawaban atas pertanyaan manusia dan juga solusi atas masalah yang timbul dari keterbatasan fisik manusia mulai ditemukan satu per satu.
Namun jagat raya bagai misteri tak bertepi, manusia masih mencari arti dan tujuan hidup, masih bertanya kemana kematian akan membawanya sehingga masih bersandar pada Nya.
Dengan demikian maka satu hal yang pasti, berdoa adalah kebutuhan manusia.
Namun apakah kebutuhan ini juga merupakan suatu kewajiban? Wajibkah kita berdoa? Berdosakah kita bila tidak berdoa?
Inilah yang akan terjadi ketika seseorang mulai melihat berdoa atau sembahyang sebagai sebuah kewajiban.
Berdoa/sembahyang akan menjadi suatu beban/sesuatu yang harus, mau tidak mau dilakukan.
Dengan berbagai statusnya, manusia telah memiliki banyak kewajiban. Dengan melihat berdoa sebagai bagian dari kewajiban, maka akan menambah panjang rentetan kewajiban yang harus dilakukan, menambah beban hidup manusia.
Contoh kasus : Dokter Andi, adalah umat yang taat berdoa. Dokter Andi selalu rutin bersembahyang di klenteng setiap malam Ce It dan Cap Goh.
Suatu hari di malam Ce It, Dokter Andi sedang di perjalanan ke klenteng untuk bersembahyang saat dirinya menerima telepon dari pasiennya yang sedang sangat membutuhkan bantuannya.
Yang mana yang harus dipilih dokter Andi, tetap melaksanakan kewajiban untuk bersembahyang kepada Tuhan atau kewajiban sebagai seorang dokter untuk menolong pasiennya?
Bila dokter Andi merupakan orang yang melihat berdoa atau bersembahyang sebagai suatu kewajiban, maka apapun pilihan yang diambil oleh dokter Andi, beliau akan tetap merasa bersalah karena tidak dapat menjalani salah satu kewajiban. Namun bila dokter Andi mengerti mendalam mengenai esensi berdoa atau bersembahyang, maka beliau dapat menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter tanpa beban apapun.
Ada kewajiban yang dilakukan, ada hak yang dituntut.
Saat berdoa dilihat sebagai kewajiban, maka ketika suatu kewajiban telah dituntaskan, ada hak yang dituntut. Manusia yang melihat berdoa atau bersembahyang sebagai suatu kewajiban, seringkali menuntut terkabulnya doa yang dipanjatkan sebagai haknya.
Sulit rasanya menerima saat tak satupun doa yang terkabul, padahal sudah banyak waktu dan tenaga yang telah dihabiskan untuk berdoa atau bersembahyang. Tuhan seolah dipaksa untuk tidak sekedar mendengar namun juga mengabulkan permintaan yang diutarakan.
Wajib atau tidak wajib, selama mengerti esensinya maka dapat menjalankan dengan tulus (berdoa atau tidak berdoa) tanpa beban.
Lalu bila kita memandang berdoa atau bersembahyang adalah suatu kebutuhan, maka apakah ini artinya kita boleh berdoa atau bersembahyang saat kita butuh saja?
Ah, rasanya tidak ada habisnya pertanyaan seputar sembahyang ini. Coba kita jawab menggunakan pengertian dan kecerdasaan kita, dengan perumpamaan seperti ini :
Bila ada yang meminta pertolongan kita, mana yang akan kita tolong?
- Orang yang kebiasaan meminta pertolongan bahkan untuk hal-hal kecil (ini perumpamaan untuk orang yang berdoa sekedar ritual dan kebiasaan)
- Orang yang meminta pertolongan secara tulus.
- Orang yang kita kenal baik, sering berkomunikasi dengan kita, dan meminta pertolongan secara tulus.
Silahkan dijawab pertanyaan di atas dengan kecerdasan dan hati nurani kita.
Sampai bertemu lagi di pembahasan yang lain.
Salam Hangat Tao.