Pada periode peperangan di negara bagian Wei, hiduplah seorang pria bernama Lee Ang. Istrinya sangat berbudi luhur dan dihormati oleh suaminya.
Suatu hari Lee Ang menemukan sepotong emas dalam perjalanan pulang. Dengan sangat gembira, dia berlari pulang untuk memberi tahu istrinya. Melihat emas itu, istrinya berkata dengan tenang dan lembut, “Seperti yang kamu tahu bahwa pria sejati tidak pernah meminum air yang dicuri. Bagaimana kamu bisa membawa pulang sekeping emas yang bukan milikmu?” Lee Ang tersadar oleh kata-kata itu, lalu segera mengembalikan emas tersebut ke tempat semula.
Tahun berikutnya, Lee Ang pergi ke tempat yang jauh untuk belajar ilmu dengan seorang guru yang berbakat dan meninggalkan istrinya di rumah sendirian. Saat istrinya sedang menenun kain, Lee Ang tiba-tiba pulang. Sang istri tampak khawatir dan langsung bertanya mengapa dia kembali begitu cepat. Sang suami menjelaskan bahwa ia sangat merindukannya. Sang istri dengan bijaksana menasihati suaminya untuk memiliki ketabahan dalam mengejar ilmu dan tidak terlalu menuruti rasa rindu. Sang istri kemudian mengambil gunting dan memotong apa yang ditenunnya pada alat tenun. Lee Ang terkejut. Istrinya menyatakan, “Jika membuat sesuatu dan berhenti di tengah jalan, itu seperti kain yang terpotong pada alat tenun. Kain itu hanya akan berguna jika sudah selesai. Namun sekarang, semuanya berantakan. Begitu pula dengan pelajaranmu.” Lee Ang sangat tersentuh dengan kata-kata istrinya. Akhirnya, ia meninggalkan rumah dengan tegas dan melanjutkan belajar. Dia tidak pulang ke rumah untuk menemui istri tercintanya sampai memperoleh prestasi besar.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa ketika melakukan sesuatu, lakukan dengan ikhlas dan semaksimal mungkin, maka hasil yang didapatkan juga akan maksimal. Begitu pun kita yang belajar Tao dan xiu Dao, perlu keuletan dan ketabahan yang sangat besar agar menjadi manusia yang lebih baik dan memajukan diri kita sendiri.
“Mengejar sesuatu yang sempurna, cita-cita boleh tinggi selangit,
Meskipun hasilnya sangat kecil, juga patut dibanggakan.”
(Buku Siu Tao menuju Kesempurnaan versi 1996 hal. 59)