Pasir dan Batu

Alkisah ada dua anak muda yang bersahabat satu sama lain dengan erat dan bahagia. Mereka hidup di suatu desa di tepi pantai yang begitu asri. Namun, layaknya suatu persahabatan, terkadang ada saja kesalahpahaman yang terjadi. Uniknya, filosofi pasir dan batu membuat persahabatan mereka tak lekang oleh waktu seperti sepotong cerita berikut ini.

Suatu pagi A dan B dengan riang gembira bersama-sama pergi memancing di tengah laut. Dilemparkanlah kail pancing ke dalam laut lalu menunggu datangnya ikan memakan umpan. Sambil menunggu, keduanya saling bercanda gurau dan menikmati angin sepoi-sepoi. Wow! Ternyata mereka bergiliran mendapatkan ikan yang begitu banyak sampai satu ember penuh. Senangnya hati mereka menanti siang dan malam bisa menikmati hidangan ikan hingga puas.

Namun, rupanya karena terlalu gembira, B tanpa sengaja menendang ember penuh berisi ikan ke dalam laut. “Byurrr”, terceburlah ikan-ikan yang susah payah dipancing kembali ke laut. Seketika saat melihat itu, A marah kepada B dengan spontan sambil mengeluarkan makian. B yang merasa dirinya tak sengaja pun membela diri, tetapi A tetap marah atas kecerobohan sahabatnya. Cekcok mulut pun terjadi dan kedua sahabat itu dengan kekesalan yang ada kembali ke tepi pantai dan masing-masing pergi berlainan arah.

A pergi meluapkan kemarahannya di ujung timur pantai. Setelah kemarahannya reda, dia mengambil ranting pohon dan menulis di atas pasir, “Hari ini sahabatku B dengan keteledorannya menjatuhkan ikan-ikan yang sudah ditangkap dengan susah payah, sia-sia.” Di sisi lain, rupanya B juga menumpahkan kekesalannya dengan menulis di atas pasir, “Sahabatku A memaki-maki diriku dengan kasar, fiuh.” Tanpa mereka sadari, air laut silih berganti menyapu pantai, tak berapa lama tulisan kekesalan mereka hilang disapu air laut seiring dengan mulai hilangnya kekesalan mereka. Mereka menyadari, kesalahan, keburukan seseorang, tak perlu terus diingat-ingat.

Dengan senyuman semangat, A bergegas kembali mencari sahabatnya B, tetapi tak ditemukan sahabatnya di tempat semula. Berkelilinglah dia mencari-cari si B, sampai cukup jauh ke dalam pulau. Di tepi air terjun, A melihat dari kejauhan si B sedang sibuk memahat seperti sedang mengukir tulisan di atas batu. Mendekatlah A kepada B. Dengan canggung dia memanggil sahabatnya B untuk meminta maaf atas kemarahannya tadi. “Sahabatku, maaf ya atas kemarahan dan kata-kataku tadi,” ujar A kepada B. Tanpa disangka, B dengan semringah berkata, “Sudahlah sahabatku, sekarang sini lihatlah apa yang telah kutulis di atas batu ini.”

A membaca secara perlahan dengan saksama, “Lima tahun lalu sahabatku A mengajariku berenang di air terjun ini. Ketika aku hampir tenggelam, dengan sigap dia menolongku. Beberapa bulan kemudian ketika aku sudah mahir berenang, sahabatku mengajariku memancing di tengah laut ….” Rupanya B menuliskan beberapa perbuatan baik yang pernah A lakukan kepada B.

Dengan mata berkaca-kaca, A bertanya kepada B mengapa menuliskan hal seperti itu. Si B berkata, “Sahabatku, hari ini aku menyadari aku memiliki sahabat sebaik dirimu. Lihatlah hal-hal baik yang pernah kamu lakukan kepadaku telah terukir di batu ini! Akan selalu kuingat sampai kapan pun, tidak akan lekang oleh waktu. Sementara itu mengenai kemarahanmu tadi, lupakan saja, aku tak mau mengingatnya.” Seketika itu berpelukanlah kedua sahabat itu dan A berkata kepada B, “Sekarang giliranku mengukir kebaikan-kebaikanmu di atas batu.”