Di suatu desa yang tenang, hiduplah dua orang sahabat yang sedari remaja selalu bermain dan belajar bersama. Mereka berdua mempunyai cita-cita kelak menjadi pejabat negara, oleh karenanya dari hari ke hari waktu mereka lebih banyak diisi dengan belajar. Kedua anak itu sebutlah A dan B. Dalam hal kepintaran dan kerajinan, B lebih unggul daripada A.
Seiring berjalannya waktu, tibalah saat yang dinanti-nantikan yaitu ujian kenegaraan untuk menjadi pejabat. Kedua sahabat itu dengan sukacita berangkat bersama-sama ke ibukota untuk mengikuti ujian. 2 bulan kemudian, diumumkan siapa saja yang lulus dan berhak menjadi pejabat. Ternyata B lulus dan diperintahkan oleh negara menjadi pejabat di kota Timur. Sungguh berbahagia lah B mendengar kabar gembira tersebut.
Namun kebahagiaan B tidak dirasakan oleh sahabatnya, A ternyata gagal dalam ujian dan harus menunggu 3 tahun lagi untuk bisa mengikuti ujian kenegaraan lagi. Melihat sahabatnya bersedih, B berkata, “Sahabatku, aku punya ide, bagaimana jika aku memohon pada Yang Mulia agar kau bisa ikut ke kota Timur menjadi asistenku? Apa kau setuju?”. Mendengar usul sahabatnya, A walaupun dalam hati sedikit iri dengan B namun setelah dia pikir-pikir dia pun mengiyakan.
Atas permohonan dari B, Yang Mulia pun mengangkat A menjadi asisten B, dalam hati Yang Mulia berpikir mereka adalah sahabat, tentu dapat mendukung satu sama lain. Di hari yang baik, kedua sahabat itu pun berangkat bersama dengan ke-protokoler-an pejabat baru ke kota Timur. Rakyat di kota Timur sangat menyambut kedatangan pejabat baru B, berharap akan adanya kemajuan bagi kota mereka.
Genap 2 tahun menjabat, ternyata kebijaksanaan dan kemampuan kerja Sang Pejabat B melampaui harapan rakyat setempat, bahkan namanya makin harum sampai ke ibukota. Banyak kasus-kasus terbengkalai yang diselesaikan dengan baik, kota ditata ulang, pembangunan mulai digerakkan, roda perekonomian pun berputar meningkat. Rakyat sangat bahagia dan mengelu-elukan Sang Pejabat B. Utusan dari ibukota pun datang memberikan penghargaan untuk Sang Pejabat B.
Namun di tengah kesuksesan yang dicapai oleh Pejabat B, sahabatnya A kini mulai berubah, selama 2 tahun A memendam rasa iri yang makin hari makin besar terhadap sahabatnya. Padahal A ikut menikmati keberhasilan dan kejayaan B. Segala kebutuhan A tercukupi oleh B bahkan berlebih-lebih, di saat utusan dari ibukota tiba pun, B juga mempromosikan A sebagai asisten nya yang handal. Kebaikan hati B terhadap A tulus bagaikan air yang bening.
Tapi nyatanya semua itu tidak memuaskan hati A, dia selalu merasa di bawah B, dia ingin lebih daripada B. Di saat iri hati nya memuncak, A pun mulai terbersit hasrat untuk menjatuhkan B. “Jika aku tak dapat melebihi dirimu, maka lebih baik kujatuhkan saja dirimu, dengan begitu kau akan dibawah diriku,” gumam A dalam hati. Semenjak itu, A mulai menebar isu-isu yang menjurus ke fitnah kepada B, memanfaatkan statusnya sebagai asisten B maka A leluasa melakukan hal hal tak terpuji secara diam -diam untuk menikam B dari belakang.
Lambat laun isu-isu tak sedap yang dihembuskan A menyebar ke seantero kota, menjadi bahan pergunjingan rakyat, rakyat terbelah antara yang mempercayai dan tidak mempercayai isu yang beredar. Hingga akhirnya Pejabat B menaruh perhatian serius terhadap isu-isu yang beredar tersebut, diperintahkannyalah seorang penyidik kepercayaannya untuk menyelidiki siapa si pembuat isu. Tak butuh waktu lama, si penyidik melaporkan kepada Sang Pejabat bahwa ternyata asisten nya yang tak lain tak bukan adalah sahabatnya A yang menjadi aktor di belakang isu-isu yang beredar. Terkejut bukan main Sang Pejabat mendengar kebenaran tersebut.
Hari-hari pun berlalu, Sang Pejabat masih berpikir keras bagaimana dia seharusnya bertindak, dia tahu itu sahabatnya tapi bagaimana mungkin dia menghukum keras sahabatnya sendiri sedari remaja. Dia masih berharap agar sahabatnya sadar kalau tindakannya tidak benar. Akhirnya dia menemukan cara, Sang Pejabat kemudian memanggil si penyidik untuk melakukan satu hal, “Tuan penyidik, saya perintahkan anda membawa setumpuk bantal yang berisi kapas ke belakang rumah asistenku, setibanya di sana, kau robek saja bantal-bantal tersebut dan kau pukul-pukul terus hingga kapasnya berterbangan kemana-mana, ingat pastikan asistenku berada di rumah dan lakukan dengan hati-hati jangan sampai diketahui orang”.
Si penyidik menyanggupi perintah pejabat B dan mengatur rencana ke belakang rumah asisten A secara diam-diam. Diwaktu yang telah direncanakan, penyidik melakukan semua hal sesuai perintah pejabat B. “Siapa yang mengotori rumahku dengan kapas-kapas ini, bagaimana aku mengumpulkannya kembali ?”, gumam si A dalam hati ketika melihat kapas-kapas yang begitu banyaknya berterbangan di seantero rumahnya. Keesokan harinya, dengan bukti-bukti yang kuat, pejabat B menghampiri sahabatnya A dan berkata bahwa dengan bukti-bukti yang dimilikinya bahwa A telah merancang isu dan fitnah maka hukumannya sangatlah berat.
“Sahabatku, aku tidak tahu mengapa engkau begitu kejam merancang dan menyebarkan isu2 fitnah kepada diriku, sesuai aturan hukum yang berlaku maka seharusnya kau dihukum cambuk 100x, dipasung dan dikirim ke ibukota untuk kemudian menerima hukuman lagi dari Yang Mulia. Namun mengingat persahabatan kita, aku mempersilakan kau pergi dari kota ini dan jangan pernah kembali lagi”, Sang Pejabat berkata. Mendengar hal ini, pecahlah tangis si A, dengan berurai air mata dia menyesali perbuatannya dan berterima kasih atas kebaikan hati pejabat B.
Setahun demi tahun berlalu sejak kejadian itu, suatu hari si A yang telah berada di desa jatuh sakit, di tengah sakit kerasnya, dia meratapi perbuatan yang pernah dia lakukan dahulu kepada sahabatnya B. Setiap malam si A selalu mengigau menangis ingin menemui B, hingga salah seorang keluarganya merasa kasihan dan bergegas pergi ke kota timur menemui pejabat B. Diceritakanlah bahwa A sakit keras dan ingin sekali menemui sang pejabat. Mendengar itu, pejabat B segera memerintahkan anak buahnya mempersiapkan kepergiannya ke desa menemui sahabatnya. Tibalah sang pejabat B di rumah A, bergegaslah dia masuk menemui sahabatnya yg kini tampak kurus sekali karena sakit kerasnya. Melihat sahabatnya datang, berurai air matalah si A sambil berkata, “Sahabatku, mohon maafkanlah aku, selama ini aku selalu berusaha mengerti makna dari kapas-kapas yang berterbangan di rumahku pada hari itu, sekarang aku mengerti bahwa itu seperti isu-isu yang aku buat dahulu, begitu tersebar sulit untuk ditarik kembali, menyebar bagaikan kapas-kapas itu, aku sungguh menyesal dan memohon maaf darimu sahabatku, dosaku ini sungguh sulit diampuni.” Dengan menitikkan air mata juga, pejabat B berkata, “Aku sudah memaafkanmu sahabatku.” Mendengar sahabatnya berkata demikian, sedikit legalah hati si A dan dalam senyuman yang terakhir dia menggenggam tangan sahabatnya.