Kata ‘sabar’ sering dipakai untuk menenangkan, meredam, mengendalikan seseorang dari tekanan gejolak emosi (amarah), atau sering juga dipakai pada situasi menunggu.
Sabar bukanlah hanya sekedar mampu bertahan secara fisik atau penampilan luar semata. Bagi kita yang siutao, sabar adalah proses penggemblengan internal diri sampai ke dasar jiwa atau nurani terdalam.
1. Dalam siutao, kita berlatih shenkung, chikung, cingco. Lienkung ini adalah proses seumur hidup. Jadi hanya dengan kesabaranlah baru bisa dijalani sampai akhir.
2. Dalam siutao, kita juga dianjurkan Wu.
Hanya dengan kesabaran juga, suatu pengertian yang mendalam dapat dicapai. Pengertian mendalam membutuhkan kecermatan, kecerdasan, ketelitian, keteguhan, kegigihan, dan konsistensi. Semua ini didapat dari pengolahan diri selama hidup, secara:
– Internal: mengendalikan jiwa, ego, pikiran, emosi dan sifat-sifat karakter.
– Eksternal: mengolah kemampuan sosialisasi dengan orang lain dan masyarakat.
Oleh karena itu sabar adalah faktor fundamental yang penting.
3. Lima Rejeki (Wu Fuk)
Wu Fuk (Fuk, Luk, Shou, Jay, Ting) adalah kebahagiaan yang menjadi tujuan hidup kaum siutao. Untuk mendapatkan secara lengkap dan berimbang serta tingkat yang baik, tidak ada rumus lain selain hanya dengan kesabaran untuk tanpa henti berupaya. Selain itu kesabaran juga merupakan modal mempertahankan harapan dan juga agar setiap saat selalu dapat menerima dan mensyukuri kondisi saat itu sebagai kebahagiaan. Jika tidak ada sabar,[1] maka semuanya akan hampa.
Banyak orang salah mengerti, meletakkan tujuan hidup bahagia menjadi bagian akhir proses. Mungkin karena penafsiran dangkal pepatah “berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian” (diartikan bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian). Maksud pepatah ini harusnya dimengerti bahwa masa depan yang baik itu harus dipersiapkan dengan upaya keras dari awal.
Jika kebahagiaan itu adalah tujuan hidup, maka setiap saat dalam proses hidup yang ringan maupun berat, tetap harus bisa menikmati dan mendapatkan kebahagiaannya. Itu baru hidup yang penuh kebahagian. Hanya yang penuh kesabaran yang dapat menikmati kehidupan dalam segala kondisi.
Sering orang mengatakan bahwa kesabaran itu ada batasnya, seperti seutas karet yang direntangkan maka pada satu titik dia akan putus. Benar itu adalah gambaran manusia pada umumnya. Namun siutao justru harus mencapai di atas manusia normal.
Sabar tetap sabar, jika sudah tidak sabar lagi, maka itu sudah bukan sabar lagi.
Bagi orang siutao, sabar bukan berarti pasrah, pasif, tidak peduli, dan hanya menunggu. Sabar bukan sekedar ekspresi permukaan atau sekedar alat penghibur, tapi semakin dalam proses siutaonya, kesabaran akan semakin tertanam di dasar jiwa atau nurani dan menjadi semacam kekuatan daya tahan yang penuh kesadaran.
Kesabaran adalah “kualitas” hasil siutao yang menjadi bagian jiwa karena dibarengi dengan pengertian dan menyatukan diri dengan nasibnya, takdirnya, dan alamnya.
Waktu adalah dimensi tak terlihat yang berjalan terus, detik demi detik secara mutlak. Sabar bukan berarti membuang waktu atau melewatkan sia-sia. Namun, justru sabar itu adalah semangat konsisten untuk terus aktif melangkah dan berupaya positif.
Dalam kehidupan, banyak realita yang harus disikapi dengan sabar agar kita dapat selamat dan melewati proses untuk menuju proses berikutnya. Banyak kasus kegagalan yang disebabkan ketidaksabaran, hingga harus mengulang sebuah proses berkali-kali yang akhirnya menunda bahkan menghilangkan kesempatan yang ada untuk masuk ke proses selanjutnya. Bahkan, ketidaksabaran sering juga berakibat fatal yang menyebabkan kegagalan mutlak yang tidak bisa diulang atau diperbaiki lagi. Contoh yang paling mudah dilihat adalah sikap ketidaksabaran menghadapi lalu lintas di jalan raya yang sering mengakibatkan kecelakaan.
Di kehidupan modern yang menuntut kecepatan, kegesitan, ketepatan, dan lain-lain, di manakah letak esensi pentingnya kesabaran? Kesabaran bukanlah sikap lemah, bukan pula sikap pasif. Kesabaran justru menjadi landasan dasar dari semua nilai yang diperlukan di zaman modern ini, yaitu sebagai kendali total jiwa pikiran dan fisik untuk selalu aktif bergerak positif secara sangat terkendali. Untuk mempermudah pengertiannya, kesabaran itu bagaikan rem untuk semuanya. Hanya orang yang mampu mengendalikan diri dan seakan-akan memiliki rem yang sangat kuatlah yang lebih berkesempatan mencapai kesuksesan. Yang tak memiliki rem tentu tak akan mampu hidup di zaman serba cepat sekarang ini dengan aman. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk semuanya.